Si
Pahit Lidah, suatu legenda yang hampir punah di mata penduduk Sumatera,
khususnya di Sumatera Selatan. Tidak jelas asal yang pasti asal
usulnya. Inilah bukti (mitos) si pahit lidah di tengah masyarakat yang
saya rangkum secara singkat:
Peninggalan Si Pahit Lidah:
1.Batu Macan
Konon batu ini sudah ada sejak abad ke 14 terdapat di Desa Pagar Alam
Kecamatan Pulau Pinang Kabupaten Lahat. Penduduk setempat meyakini batu
macan adalah simbol sebagai wujud nyata paraturan adat (perdat) yang
harus dipatuhi. Menurut cerita penduduk setempat Dahulu kala ada seekor
macan yang kerap kali mengganggu masyarakat desa di empat wilayah (Pagar
Gunung, Gumay Ulu, Gumay Lembah, dan daerah Gumay Talang).
Keganasan macan yang semakin merajalela kepada penduduk, membuat Si
Pahit Lidah memperingati macan untuk tidak meneruskan kelakuannya, namun
sampai tiga kali teguran tidak pernah dipatuhinya dan macan terus saja
mengganggu penduduk.
Ketika Si Pahit Lidah sedang bersantai dan berjemur di batu penarakan
sumur tinggi, dari jauh dilihatnya seorang wanita sedang menjemur padi
sambil menggendong anaknya, dan pada saat yang sama datang seekor macan
dari arah belakang wanita secara mengendap-endap untuk menerkam wanita
bersama anak yang ada di gendongannya.
Melihat
itu, kembali Si Pahit Lidah memperingati macan, namun sayangnya teguran
itu tidak juga membatalkan niatnya untuk menerkam wanita tersebut,
sampai akhirnya Si Pahit Lidah berucap “Aii, dasar batu kau nii!” dan
tiba-tiba macan tersebut berubah menjadi batu.
Anehnya, bukan hanya macan yang menerima kutukkan dari Si Pahit Lidah,
wanita berserta anak yang sedang digendongnya turut menjadi batu.
Setelah diselidiki, ternyata wanita tersebut adalah wanita pezinah dan
anak yang sedang digendongnya adalah anak hasil perzinahan.
Dari kisah itu, penduduk setempat mempercayai, apabila seseorang
diketahui berzinah, maka terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh si
pelaku yakni menyembelih kambing sebagai basoh rumeh (pembersih rumah.
red), dan apabila si wanita mengandung dan melahirkan, maka harus
menyembelih kerbau sebagai basoh marge (pembersih lingkungan. red).
Hanya saja, sebelum kedua hewan tersebut disembelih maka pelaku harus
dikucilkan dan tidak boleh bergaul seperti diungsi kan di daerah lain
atau di pegunungan, dan akan dapat diterima di masyarakat kembali
setelah memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut.
2.Goa Putri
Menurut legenda yang dipercaya sampai sekarang, dulu tinggallah seorang
Putri Balian bersama keluarganya. Suatu saat, sang Putri mandi di muara
Sungai Semuhun (sungai yang mengalir di dalam goa, bermuara di sungai
Ogan), persis pada pertemuan sungai itu dengan sungai Ogan.
Pada
suatu saat, kebetulan seorang pengembara sakti lewat, namanya Serunting
Sakti atau yang lebih dikenal dengan nama Si Pahit Lidah. Melihat Sang
Putri di sungai hendak mandi, Si Pahit Lidah mencoba menegur. Namun
tidak dipedulikan sama sekali oleh Sang Putri. Sampai beberapa kali Si
Pahit Lidah menegur Sang Putri, tetap saja tidak dihiraukan oleh Sang
Putri. "Sombong benar si Putri ini, diam seperti batu saja...," kata Si
Pahit Lidah menggumam. Gumaman itu langsung mengenai Sang Putri,
sehingga serta merta Sang Putri berubah menjadi batu. Itulah batu yang
terdapat di Sungai Ogan, seperti yang digambarkan pada awal tulisan ini.
Si Pahit Lidah lalu meneruskan perjalanannya. Tak disangka sampailah
sang pengembara di depan lokasi yang sekarang menjadi goa. "Katanya ini
desa, tapi tidak kelihatan orangnya, seperti goa batu saja,' kata Si
Pahit Lidah bergumam. Dan jadilah tempat itu sebagai goa batu. Itu
legenda terjadinya Goa Putri.
Memasuki
Goa Putri, banyak keindahan alam ciptaan Tuhan yang menakjubkan dapat
Anda saksikan. Bagaikan perunggalan kerajaan pada zaman dahulu yang
telah runtuh namun masih utuh. Dinding goa yang dipenuhi stalagmit dan
stalagtit menambah indahnya goa tersebut. Pada pintu masuk dapat Anda
lihat patung seekor singa yang seolah-olah sedang orang di sana, jika
Anda mencuci muka dengan air tersebut bisa menjadi awet muda, kulit muka
tidak kelihatan tua.
3. Danau Ranau
Danau ranau berjarak kira2 342 km dari kota palembang, 130 km dari kota Baturaja.
Konon kabarnya hidup seorang yang sangat sakti yaitu Si Pahit Lidah,
karena saking lidahnya pahit dapat mengkutuk orang, binatang, atau benda
apapun menjadi batu. Hal ini dipercaya karena adanya situs peninggalan
zaman dahulu kala yaitu BATU KEBAYAN (candi sepasang pengantin) yang
puing-puingnya masih tersisa di dekat Desa Jepara, kecamatan Buay
Pematang Ribu Ranau Tengah, kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan. Dan
konon dipercaya banyaknya situs (arca atau patung) di daerah Ranau.
4. Patung Gajah
Lokasi
situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam,
sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750
meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan
daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC
Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu
berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik
yang penuh serakan peninggalan arkeologi.
Sebetulnya
masih banyak peninggalan dari legenda si pahit lidah, seperti
arca,lesung,subik,batu sirmol dan lain - lain. Tapi saya kutip yang
terkenal di masyarakat.
Sejarah Singkat
Tersebutlah
kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak
keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru
dengan iparnya yang bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah
rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.
Dikisahkan,
mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh
pepohonan. Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang
menghadap kearah ladang Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan
jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak
berguna.
Perseteruan
itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa
Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut.
Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk
kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia
kesaktian Serunting.
Menurut
kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan
ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan
informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi.
Dengan
sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu.
Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia
pergi mengembara.
Serunting
pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan
kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu
hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua
tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti
yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu
adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya
akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit
Lidah.
Ia
berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan
pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau,
dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit
Lidah pun berkata, “jadilah batu.” Maka benarlah, tanaman itu berubah
menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya
di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.
Namun,
ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang
gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi
keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak.
Penelusuran Peninggalan Si Pahit Lidah
1.Penelitian pada Zaman Belanda ( Batu Gajah )
Si Pahit
Lidah sungguh sakti kata-katanya. Setiap serapah sumpah yang keluar dari
mulutnya yang berlidah pahit kontan akan membuat benda yang dikutuk
menjadi batu. Begitu kira-kira dongeng lisan masyarakat Pasemah di
kawasan Lahat dan Pagar Alam di Sumatera Selatan.
Kesaktian
tokoh suci folklorik itu menjadi salah satu hiasan info populer perihal
banyaknya arca batu dan batu bertatahkan torehan bentuk manusia dan
binatang.
Cerita
rakyat itu hanya imbuhan karena para pakar arkeologi sejak zaman
penjajahan Belanda hingga kini masih terkagum- kagum dan takjub dengan
adanya peninggalan budaya masa lampau, konon ditaksir sudah sejak
beratus-ratus tahun silam.
Lokasi
situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam,
sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750
meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan
daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Ahli
arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC
Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu
berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik
yang penuh serakan peninggalan arkeologi.
“Van
den Hoop tercatat membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar tahun
1930-an tanpa penjelasan rinci,” ujar Drs Nurhadi Rangkuti MSi (49),
Kepala Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, akhir Februari lalu,
saat menjelaskan batu besar berhiasan unik yang kini koleksi Museum
Balaputradewa di kota Palembang.
Batu
bundar macam telur besar pejal asal Kotoraya di Lahat mencolok sekali
tatahan dan goresannya berbentuk gajah dan manusia. Perhatikan hiasan
pahatannya, menggambarkan seorang manusia sedang menggapit seekor gajah.
Tokoh itu mengenakan tutup kepala macam ketopong, telinganya mengenakan
semacam anting dan mengenakan juga kalung leher. Kakinya mengenakan
gelang kaki yang diduga berbahan logam. Di punggung manusia itu ada
sebentuk nekara, tetapi wajahnya berbibir tebal, hidung pesek dan
pendek, mata lonjong dan badannya terkesan bungkuk. Di pinggangnya
terdapat senjata tajam, ujar Nurhadi yang mengaku belum pernah mengukur
rinci besar dan bobot batu andesit itu.
“Dari
ujung belalai sampai ke ekor gajahnya, sekitar 2,7 meter. Di balik
relief gajah ini, ada pula bentuk seekor babi bertaring panjang dengan
dua tokoh manusia.”
Peninggalan
tradisi megalitik itu amat terkenal di dunia kajian arkeologi karena,
selain diduga dari masa prasejarah, tradisi batu besar itu pun berlanjut
sampai kini. Bentuk peninggalan megalitik lainnya di wilayah Pasemah,
selain batu gajah dan beberapa arca besar lainnya yang kini ada di
Palembang, di Pagar Alam juga masih banyak peninggalan arkeologi berupa
arca batu besar, alat-alat batu, tembikar, bilik batu dan menhir.
Khususnya
di situs bilik batu, terdapat lukisan menggambarkan manusia sedang
menggamit seekor kerbau dengan warna merah bata, hitam, dan kuning oker.
Selain itu, juga ada lukisan aneka bentuk lukisan manusia, binatang,
dan burung dengan kombinasi warna merah, kuning, putih, dan hitam.
“Seluruh
peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa pada masa
lampau di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal manusia, di
daerah tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian yang lebih
sedikit maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di sekitar kota Pagar
Alam sekarang. Di daerah ini ditemukan banyak sekali arca megalit dan
bilik-bilik batu yang berhiaskan lukisan…,” tulis arkeolog Bambang Budi
Utomo (Kompas , 26 Agustus 2005).
Sejak
zamannya Ulman, peneliti zaman klasik itu selalu menghubungkan seni
hias yang ada dengan budaya Hindu. Bahkan, Tombrik tahun 1872 menuliskan
laporan Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang, als van
Geschiedkundig Onderzoek.
Kesimpulan
sementara budaya Hindu itu kemudian dibahas lebih tajam pada buku
disertasi karya ANJ Th van der Hoop, Megalithic Remains in South
Sumatra, 1932.
Saat
itulah situs di Pasemah itu terkenal sebagai situs megalitik di Sumsel,
berikut penerbitan Megalithische Oudheden in Zuid- Sumatra , seraya
mengakhiri debat ilmiah perihal pengaruh Hindu.
Wujud
manusia biasanya dengan tubuh tambun, berikut bentuk tangan, kaki,
perut, dan leher yang gemuk. Umumnya badan manusia itu membungkuk dengan
kepala berketopong menghadap ke depan atau agak menengadah.
“Bentuk
lainnya ada juga tokoh manusia menggamit seekor kerbau selain gajah.
Ada teori klasik yang menyebutkan kalau gajah dan kerbau merupakan hewan
tunggangan, tetapi debat dan kilah ilmiah arkeologis itu kini belum
dilanjutkan dengan penelitian komprehensif, ujar Nurhadi yang mengakui
instansinya tidak ada anggaran untuk studi megalit di Sumsel.
Sambil
menyusuri takikan halus di batu besar itu, Nurhadi mengatakan kalau
seni pahat megalitik itu amat mengagumkan. Torehan pahat, tatahan,
pahatan permukaan batu pejal itu, dibuat amat halus dan proporsional,
mengikuti bentuk dasar batu. Batu gajah yang diteliti Van der Hoop dan
diboyong ke Palembang di zaman 70-an memiliki alasan tersendiri.
“Kami
upayakan menemukan catatan lama soal kejadian itu karena tidak mungkin
batu berton-ton beratnya itu diangkut tanpa maksud dan tujuan ilmiah,”
ucapnya.
Suasana
Museum Balaputradewa di Palembang pagi hari itu ramai dikunjungi
rombongan siswa SLTA. Seperti biasanya museum pemerintah, pelajar itu
berjalan bebas tanpa ada bimbingan guru atau juru penerang dari museum.
Batu gajah besar itu hanyalah batu tanpa pesan dan kesan ilmiahnya.
Kisah
manusia dan gajah yang “dikutuk” Si Pahit Lidah menjadi batu kaku hanya
menjadi pajangan koleksi biasa. Mungkin sekali waktu perlu ada tokoh
“Si Manis Lidah” agar bisa menjelaskan latar belakang budaya luhur
Sumsel dan kisah Si Pahit Lidah, sambil menjelaskan contoh ilmiah batu
gajah yang misterius, tetapi serius! (RUDY BADIL/Wartawan Senior di
Jakarta)
2. Penelitian Permukiman kuno di tepi Danau Ranau dan sekitarnya
Penelitian
dilaksanakan dari tanggal 16-27 April 2008, dengan ketua tim Sondang M.
Siregar, dan beranggotakan 5 orang yaitu Budi Wiyana, Kristantina
Indriastuti, Ismayati, Firdaus dan Untung. Penelitian dilakukan dengan
survey dan ekskavasi. Berikut hasil penelitian di Danau Ranau :
a. Parit (siring)
Lokasi candi berbatasan dengan parit (gua sanga 1 dan gua sanga 2).
Parit ini membujur dari selatan ke utara. Parit (gua sanga 1) memiliki
lebar 10 m. Di belakang candi juga ditemukan parit namanya jikung kibau
(=tempat kerbau mandi). Parit lebar 1-2 m, membujur ke barat berkumpul
ke Sungai Perli.
b. Candi Jepara (Batu Kebayan: batu pengantin)
Lokasi sekarang dikelilingi oleh pagar kawat berduri. Nampak runtuhan
bangunan candi yang berserakan di atas permukaan tanah. Batu candi
terbuat dari batu kapur, fondasi berdenah empat persegi panjang, ukuran
lebih kurang panjang 9 meter dan lebar 8 meter. Pada fondasi candi
terlihat pelipit sisi genta dan padma. Di sekitarnya tampak juga panil
batu yang diduga bagian dari kaki candi, panil tersebut empat persegi
namun diatas panil tidak berhias (polos). Sistem penyambungan batu
disini menggunakan sistem batu takuk. Arah hadap candi timur laut.
c. Kampung Lama (Jepara Tua)
Disini terdapat juga makam tua yaitu makam Ratu Sipiho (penguasa daerah
Jepara dulu). Salah satu keturunannya sekarang Bupati OKU (Muslimin
Singajuru). Ratu Sipiho ini dahulu mempertahankan daerah Jepara ketika
Suku Abung dari Lampung datang menyerang. Lokasi candi Jepara dengan
kampung ’Jepara Tua’ berjarak kurang lebih 600 meter. Lokasi Jepara Tua
yaitu kampung lama masuk ke sekitar 200 meter. Di tanah milik Bapak
Nasution ditemukan pecahan-pecahan keramik di atas permukaan tanahnya.
Lokasi sekarang ditumbuhi semak belukar adapula ditanam tembakau.
Pengolah tanah adalah Bapak Tambat (salah seorang tenlok). Bapak Tambat
menginformasikan kepada tim, bahwa dia pernah menggali di lokasi ini dan
menemukan mata uang (Kolonial) dan fragmen guci (stoneware), wadah
terbuat dari perunggu. Selanjutnya tim menindaklanjuti dengan mengadakan
ekskavasi di lokasi ini.
d. Benteng Tanah
Perbatasan makam dengan tanah milik Bapak Nasution terdapat benteng
tanah yang membujur dari utara ke selatan, sebelah utara berbatasan
dengan jalan dan Sungai Way Perli dan sebelah selatan berbatasan dengan
Danau Ranau. Tinggi benteng ke jalan terdekat 10-15 meter, kemiringan
450 Tinggi benteng 160-190 meter, lebar 6-8 meter, panjang: 70 meter.
Di sisi kanan benteng ini terdapat parit selebar 6 meter, yang ditumbuhi
pohon bambu di pinggirannya. Lokasi Jepara Tua dikitari jalan dan
Sungai Way Perli sebelah utara dan barat, dan sebelah selatan jalan dan
Danau Ranau, sebelah timur pemakaman jaman sekarang.
e. Penemuan Subik
Tim berhasil menemukan batu lesung yang terletak didekat tepi jalan,
tepatnya berada di lereng, sekitarnya banyak ditanam kopi. Panjang
lesung batu : 140 cm, lebar 124 cm, tinggi 88 cm, lubang: 58 cm, lebar
dalam lubang 30 x 30 cm. Informasi penelitian terdahulu ditemukan
fragmen batu candi di lokasi ini, namun sejauh ini tim belum menemukan
fragmen batu candi tersebut.
Infomasi dari Bapak Akil: di Subik terdapat Tengkujuh, Batu Srimol
(artinya orang hutan), Subik Tuha, Sri Tanjung. Bapak Akil ini menyimpan
keramik kuno: piring ¾ utuh, warna biru putih, keramik ini ditemukan di
Dusun Sri Tanjung. Tim berhasil mensurvey lokasi penemuan piring
keramik, yaitu di area kebun kopi, yang di belakangnya mengalir Way
Lerai, berhulu ke Danau Ranau. Lokasi Batu Srimol adalah gua kecil yang
terletak di atas bukit yang lerengnya sangat curam. Subik Tuha merupakan
kampung lama dari Desa Subik, yang sekarang diatas permukaan tanahnya
terdapat makam. Disini juga dimakamkan penyebar agama Islam pertama di
Subik.Dari informasi juga di Desa Padang Ratu terdapat kampung lama
(perlu disurvey )
e. Danau Ranau
Tim
berhasil melaksanakan survey ke Pulau Marisa, yang berada di tengah
Danau Ranau dan juga berkunjung ke pemandian air panas di Kota Batu.
Dari informasi penduduk di sekitar Kota Batu terdapat sebaran fragmen
keramik kuno.
Kesimpulan tim Sondang M. Siregar:
- Di tepi Danau Ranau banyak ditemukan situs-situs baik yang berasal dari masa Prasejarah, Hindu/Buddha dan Islam
- Di situs Jepara (Ranau) ditemukan runtuhan bangunan candi, yang
berdasarkan gaya seni bangunan candinya berasal dari sekitar abad ke-10
Masehi.
- Di situs Jepara ditemukan pemukiman masa lampau, yang berjarak
sekitar 600 meter sebelah tengara candi (disebut ’Jepara Tua’). Lokasi
ini berbatasan dengan benteng tanah yang membujur dari utara ke selatan
dengan tinggi 160-190 meter, lebar 6-8 meter, panjang: 70 meter.
Sekitar area ’Jepara Tua’ terdapat dolmen dan batu kursi (tinggalan
megalitik). Berdasarkan hasil ekskavasi pada sekitar candi sedikit
ditemukan pecahan keramik, sedangkan pada lokasi ’Jepara Tua’ banyak
ditemukan pecahan keramik: tembikar, batuan, porselen (dari abad ke-10
M-17/18 M), mata uang, selain itu juga ditemukan sedikit fragmen
obsidian dan tulang binatang. Oleh karena itu diduga situs Jepara
digunakan tempat bermukim penduduk dari masa Prasejarah, Hindu/Buddha
dan Islam.
3. Goa Putri .
Penelitian
dilakukan pada tgl 2-13 Juni 2008 diketuai oleh Kristantina
Indriastuti, S.S dengan anggota tim Dr Harry Widianto, Sondang M.S,
Armadi ST, Aminah B.A. Sigit Eko Prasetyo S.Hum..
Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi aktivitas budaya yang pernah berlangsung di sektor gua
Putri I, ceruk gua dan di teras sungai-sungai yang berada di kawasan
gua Putri.
Mengetahui karakter budaya di sekitar mulut gua, ceruk gua dan di teras sungai secara lengkap dan representatif.
Mengetahui tingkatan teknologis dan perkembangan tipologis artefak yang masih harus diperoleh datanya secara lengkap.
Memahami kaitan antara pendukung budaya dengan pola subsistensinya, yang pernah berlangsung di sektor GP I dan di teras sungai.
Hasil Penelitian
Pemanfaatan ruang oleh manusia di masa lalu merupakan hal yang penting
dalam mengkaji arkeologi pemukiman. Setiap kegiatan manusia selalu
menempati suatu ruang tertentu. Segala tingkah laku manusia di dalamnya
akan ditentukan oleh berbagai unsur keruangan. Unsur keruangan itu
terdiri dari artefak, bahan baku, fitur, tempat sumber bahan baku
(resources spaces) dan manusia (population) yang mendayagunakan dan
mengatur unsur-unsur tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan melalui ekskavasi di sector
mulut gua dan di dekat teras sungai, serta ceruk di depan gua nampaknya
data artefaktual banyak ditemukan di depan mulut gua yang berada di
sebelah kiri tangga masuk wisatawan, sedangkan pada beberapa tempat
seperti dekat teras sungai dan di ceruk gua nampak bahwa tempat-tempat
tersebut tidak dipilih oleh pendukung budaya gua untuk bertempat tinggal
maupun tempat beraktivitas, hal ini nampak dari beberapa kali tes pit
yang kita adakan di luar gua dan di ceruk gua, seperti Kotak K- 4, K-
5, K-6 dan K-7, K-8, yang kita gali sampai kedalaman 2 m tidak
menampakkan adanya bukti-bukti artefaktual.
Hal ini berbeda dengan kotak K3, yang berada di dekat pintu masuk gua
menunjukkan bahwa gua ini pernah dihuni pada masa prasejarah, dan
manusia gua ini hidup dengan mengkomsumsi kerang sebagai makanan
utamanya, namun ada juga sebagian kecil tulang hewan yang dikonsumsinya
hal ini terlihat dari beberapa fragmen tulang yang terbakar. Selain
kerang dimanfaatkan untuk makanannya ada beberapa bagian juga
dimanfaatkan sebagai peralatan seperti alat serut.
Sehubungan dengan pengolahan makanan tidak dapat dilepaskan juga dengan
peralatan yang digunakan untuk mendukung aktivitas tersebut, hal ini
terbukti dari ditemukannya alat-alat batu yang sebagian besar berupa
serut, serpih bilah, beberapa batu inti (bahan dasar alat), tatal-tatal
(serpihan) batu, batu dipangkas (limbah pembuatan alat), dan calon-calon
alat. Berdasarkan temuan alat-alat batu tersebut menunjukkan bahwa
penghuni gua sudah menggunakan berbagai jenis bahan batuan untuk
pembuatan alatnya seperti, gamping kersikan, batu rijang, fosil kayu,
serta obsidian, dan kerang.
Selain ditemukannya artefak litik, ditemukan juga fragmen gerabah hias
dan polos yang menggunakan tehnik roda putar yang dipadukan dengan
tehnik tatap pelandas dan di kotak K-3 tersebut, ditemukan komponen
fragmen manusia sebanyak 3 individu antara lain berupa komponen fragmen
tengkorak, gigi, geraham , ruas tulang jari, fragmen tempurung kaki dll.
KESIMPULAN :
Legenda
atau mitos kerap ada di sudut mana pun di dunia, seperti legenda
rakyat Sumatera Selatan yang sangat terkenal di Indonesia. Banyak unsur
kehidupan tentang legenda atau mitos yang jadi contoh supaya kita lebih
baik lagi dari sekarang. Konon ada beberapa sumber yang mengatakan Si
Pahit Lidah. Kabarnya kuburan Si Pahit Lidah di dalam hutan di kawasan
Danau Ranau.Sayang nya penduduk setempat pun tidak tahu dimana letaknya.
Sedangkan bukti yang di selidiki para ahli pra sejarah zaman belanda
dan saat ini,menyebutkan bahwa bukti keperkasaan peninggalan si pahit
lidah bukan lah nyata (mitos) tapi hanyalah peninggalan pra sejarah
ajaran kebudayaan Hindu/Buddha dan Islam .
(dikutip dari berbagai sumber nara sumber)